BAB I
PENDAHULUAN
Nafs disebut
juga sebagai jiwa. Banyak para ahli seperti Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah
mendefinisikan arti Nafs dan juga membaginya menjadi tiga bagian yaitu, Nafs
al-amarah, Nafs al-lawwamah, dan yang terakhir Nafs al-mutmainnah.
Sedangkan
di dalam al-Qur’an, Nafs memiliki makna yang berbeda-beda. Bisa sebagai diri
Tuhan, diri atau seseorang, sebagai roh, sebagai jiwa, sebagai totalitas
manusia, dan sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku.
Beberapa
kalangan yang banyak membahas tentang Nafs mengatakan “perjalanan seorang hamba
telah selesai ketika ia sanggup menguasai dan mengalahkan hawa nafsunya. Ketika
mereka telah mengalahkan hawa nafsu, maka mereka telah menang dan sukses.
Tetapi jika mereka justeru dikuasai oleh nafsunya, berarti mereka adalah
orang-orang yang merugi dan celaka”. Dapat disimpulkan bahwa, kita sebagai
manusia hendaklah bisa atau dapat mengendalikan nafsu yang jelek ke nafsu yang
baik, agar kita tidak menjadi orang yang merugi.
Untuk
merubahnya ada beberapa tahap yang harus kita jalankan, dan semua itu butuh
kesabaran dan niat yang besar dari diri kita sendiri. Tahapnya itu seperti
meningkatkan iman dan amal saleh kita kepeda Allah SWT.
BAB
II
ISI
A.
Pengertian Nafs
Jiwa disebut juga nafs karena ia banyak keluar masuk dari tubuh
manusia[1]. Kata
jiwa berasal dari bahasa arab النفس) ) atau
nafs’ merupakan satu kata yang memiliki banyak makna (lafzh
al-Musytaraq) dan dipahami sesuai dengan penggunaanya. Kata nafs terdapat dalam Al-Qur’an dengan
makna yang berbeda. Terkadang ditujukan pada hakikat jiwa, yaitu terdiri dari
tubuh dan ruh, sebagaimana tampak dalam al-Qur’an,
وَلَوْشِئْنَالَآتَيْنَاكُلَّنَفْسٍ هُدَاهَاوَلَكِنْحَقَّالْقَوْلُمِنِّي
لَأَمْلَأَنَّجَهَنَّمَمِنَالْجِنَّةِوَالنَّاسِأَجْمَعِينَ ”Dan
kalau Kami menghendaki, niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa
petunjuk.” (as-sajdah ayat
13)[2]
Menurut ahli tsawuf, nafs diartikan sesuatu
yang melahirkan sifat tercela. Al-Ghazali menyebut nafs sebagai pusat potensi
marah dan syahwat pada manusia الجا مع لقوة الغضب
والشهوة في الانسان[3] Dan sebagai pangkal dari segala
sifat tercela. الاصل الجامع للصفات المذمومة من الانسان .Pengertian ini antara lain dipahami dari
hadist yang yang berbunyi :
اعدى عدوّك نفسك التي بين جنبيك
Artinya:
“musuhmu yang paling berat adalah nafsumu
yang ada di dua sisimu”.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, nafs
(nafsu) juga dipahami dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik[4],
padahal dalam al-Qur’an nafs tidak selalu berkonotasi negative
Kajian tentang nafs merupakan bagian dari
kajian tentang hakikat manusia itu sendiri. Manusia dan nafs juga dibicarakan
dalam kitab suci al-Qur’an. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa nafs sebagai sisi
dalam manusia berhubungan dengan dorongan-dorongan tingkah laku, sikap dan
dengan tingkah laku itu sendiri. Oleh karena itu kajian tentang nafs dalam al-Qur’an
mencakup:
1.
Makna yang dipahami dari ungkapan nafs
2.
Nafs sebagai penggerak atau dorongan tingkah laku
3.
Hubungan nafs dengan tingkah laku manusia.
Nafs yang wujud dalam diri manusia memiliki berbagai
fungsi, antara lain untuk membuat gagasan, berfikir dan merenung, yang pada
akhirnya menghasilkan keputusan apa yang harus diperbuat. Itulah sebabnya
kualitas nafs yang telah terbentuk pada seseorang aka membentuk sistem
pengendalian pribadi.[5]
A. Jiwa Menurut
Term Nafs
Al-Qur’an menyebut nafs dalam bentuk-bentuk kata jadian.
تنفس يتنافس متنافسون نفس انفس
Dalam bentuk mufradat, nafs disebut 77 kali tanpa idlafah dan 65 kali
dalam bentuk idlafah, dalam bentuk jamak nufus disebut 2 kali, sedangkan dalam
bentuk jamak anfus disebut 158 kali, sedangkan kata tanaffasa-yatanaffasu dan
al-mutanaffisun masing-masing hanya disebut satu kali. Term nafs dalam
al-Qur’an semuanya disebut dalam bentuk Ism atau kata benda, yakni nafs, nufus,
dan anfus.
Dalam al-Qur’an, kata nafs mempunyai aneka makna:
ª
Nafs, sebagai diri atau seseorang, dalam surat
Ali-Imran /3:61, surat Yusuf /12:54, dan surat Ad-zariyat /51:21.
ª
Nafs, sebagai diri Tuhan, surat al-An’am /6:12, 54.
ª
Nafs, sebagai Roh, surat al-An’am /6:93.
ª
Nafs, sebagai jiwa, surat al-Syams /91:7 dan surat
al-Fajr /89:27.
ª
Nafs, sebagai totalitas manusia, surat al-Maidah
/5:32, dan surat al-Qashash /28:19, 33.
ª
Nafs, sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan
tingkah laku, surat al-Ra’d /13:11 dan surat al-Anfal /8:53.
Ayat-ayat yang mengisyaratkan adanya sisi luar dan sisi dalam manusia
antara lain (QS. Al-Ra’d/13:8-11).
1.
Nafs Sebagai Totalitas Manusia
Manusia adalah makhluk yang memiliki dua dimensi,
yaitu jiwa dan raga. Tanpa jiwa dengan fungsi-fungsinya manusia dipandang tidak
sempurna, dan tanpa jasad jiwa tidak dapat menjalankan fungsi-fungsinya.
Pengertian totalitas manusia juga bermakna bahwa manusia memiliki sisi luar dan
sisi dalam. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa nafs juga merupakan sisi dalam
manusia.[6]
2.
Nafs Sebagai Sisi dalam Manusia
Surat al-Syams/91:7
ونفس
وماسوّاها secara tegas menyebutkan nafs sebagai jiwa.
Jadi sisi dalam manusia adalah jiwanya. Sekurang-kurangnya al-Qur’an dua kali
menyebut nafs sebagai sisi dalam yang mengandung potensi sebagai penggerak
tingkah laku, yaitu pada surat al-Ra’d/13:11 dan surat al-Anfal/8:53.
اِنَّاللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ
حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَابِأَنْفُسِهِمْ (ar-Ra’d/13:11 )
ذلِكَ بِاَنَّاللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا
نِعْمَةً اَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
وَاَنَّ اللّهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ((al-Anfal/8:53
Kata ما بأنفسهم mengisyaratkan bahwa
nafs itu merupakan sisi dalam manusia yag juga merupakan wadah bagi suatu
potensi, dan sesuatu itu sangat besar perannya bagi perbuatan manusia. Apa yang
ada pada nafs manusia berperan besar dalam mempertahankan, menambah atau
mengurangi tigkat sosial ekonomi masyarakat. Apa yang tersembunyi dalam nafs,
dan dari sana lahir perbuatan akan dapat melahirkan perubahan-perubahan besar
dalam kehidupan manusia di muka bumi ini.[7]
Nafs (nafsu) berhubungan secara etimologis dengan asal-usul
“peniupan” dan secara silih berganti dipakai dalam literature bahasa arab
dengan arti “jiwa kehidupan” atau
“gairah dan hasrat duniawi” gairah dan hasrat duniawi banyak dipakai
dalam literature kaum sufi. Ghazali hanya
memperlihatkan dua dari sekian banyak arti tentang nafs tersebut. Satu
diantaranya yalah pengertian “yang menggabungkan kekuatan amarah dan nafsu di
dalam manusia”. Sebenarnya dua unsur tersebut mempunyai maksud yang baik karena
mereka bertanggung jawab atas gejala-gejala jahat di dalam pribadi orang dan
seharusnya memadamkan api . sebaliknya, kejahatan atau bagian yang merusak dari amarah dan nafsu harus ditertibkan dan
dibatasi tindakannya di bawah penilaian mutlak dari kecerdasan di dalam hati.
Pengertian kedua dari nafs ialah sama dengan “kelembutan hati”.
Ada tiga perbedaan keadaan wujud (nafs) seperti disebutkan oleh
Al-Qur’an.
Keadaan wujud pertama,
disebut an-nafs al-mutmainnah (nafsu yang tenang tenteram) yang dikatakan di
dalam Al-Qur’an sebagai berikut: “wahai nafsu (jiwa) yang tenang tenteram,
kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya”. Inilah yang
merupakan keadaan tertinggi dari nafs dan terjadi apabila nafs tersebut sudah
mapan dan tidak terganggu lagi oleh gairah sehingga dapat secara khusuk
mengenal Allah dan memenuhi keyakinannya.
Keadaan wujud kedua,
disebut an-nafs Al-lawwamah (nafsu yang disalahkan). Ini merupakan suatu
keadaan dimana nafsu itu masih berusaha melawan amarah dan ghairah dan oleh
karenanya belum mencapai kedamaian dan bersifat melulu untuk pengetahuan. Di
dalam Al-Qur’an menyebutkan tentang hal tersebut sebagai berikut : “Dan Aku
bersumpah dengan jiwa (nafs) yang amat
menyesali (dirinya sendiri)”.
Keadaan wujud ketiga,
disebut an-nafs al-ammarah bi-alsu (nafsu aku yang mengendalikan kejahatan). Ia
merupakan keadaan dimana “aku” akhirnya melepaskan pergumulan dengan pikatan
gairah dan berhasil tunduk terhadapnya.[8]
B.
Nafs (jiwa) Menurut Para Ahli
J Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)
Sebagaimana Ibn Sina, Imam Ghazali membagi jiwa menjadi tiga
golongan, yaitu:
1. Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal
baqgi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.
2. Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal
bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan
bergerak dengan iradat (kehendak).
3. Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi
benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran
serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum. Jiwa insani inilah,
menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs
al-natiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut
ruh, sedangkan setelah masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya
(al-'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang
berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan
bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs
al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.
J Ibn Taimiyah ( 661-728 H/1263-1328 M)
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa nafs tidak tersusun dari
substansi-substansi yang terpisah, bukan pula dari materi dan forma. Selain
itu, nafs bukan bersifat fisik dan bukan pula esensi yang merupakan sifat yang
bergantung pada yang lain.16 Sesungguhnya nafs berdiri sendiri dan tetap ada
setelah berpisah dari badan ketika kematian datang. Ia menyatakan bahwa kata
al-ruh juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Ruh yang mengatur badan
yang ditinggalkan setelah kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalamnya
(badan) dan jiwalah yang meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh yang
dicabut pada saat kematian dan saat tidur disebut ruh dan jiwa (nafs). Begitu
pula yang diangkat ke langit disebut ruh dan nafs. Ia disebut nafs karena
sifatnya yang mengatur badan, dan disebut ruh karena sifat lembutnya. Kata ruh
sendiri identik dengan kelembutan, sehingga angin juga disebut ruh.
Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa kata ruh dan nafs mengandung
berbagai pengertian, yaitu:
1. Ruh adalah udara yang keluar masuk badan.
2. Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di
darah.
3. Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah
SWT: ... Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang ... (QS.
al-'An'am, 54).
4. Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan,
sebagaimana ucapan ahli fiqih, "Hewan yang memiliki darah yang mengalir
dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir".
5. Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang
mengikuti keinginannya.
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa jiwa (nafs/ruh) manusia sesungguhnya
berjumlah satu, sementara al-nafs al-ammarah bi al-su', jiwa yang memerintahkan
pada keburukan akibat dikalahkan hawa nafsu sehingga melakukan perbuatan
maksiat dan dosa, al-nafs al-lawwamah, jiwa yang terkadang melakukan dosa dan
terkadang bertobat, karena didalamnya terkandung kebaikan dan keburukan; tetapi
jika ia melakukan keburukan, ia bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Dan
dinamakan lawwamah (pencela) karena ia mencela orang yang berbuat dosa, tapi ia
sendiri ragu-ragu antara perbuatan baik dan buru, dan al-nafs al-mutmainnah,
jiwa yang mencintai dan menginginkan kebaikan dan kebajikan serta membenci kejahatan.
J Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M)
Ibn Qayyim al-Jauziyah Menggunakan istilah ruh dan nafs untuk
pengertian yang sama. Nafs (jiwa) adalah substansi yang bersifat nurani 'alawi
khafif hayy mutaharrik atau jism yang mengandung nur, berada di tempat yang
tinggi, lembut, hidup dan bersifat dinamis. Jizm ini menembus substansi anggota
tubuh dan mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api di dalam kayu
bakar. Selama anggota badan dalam keadaan baik untuk menerima pengaruh yang
melimpah di atasnya dari jism yang lembut ini, maka ia akan tetap membuat
jaringan dengan bagian-bagian tubuh. Kemudian pengaruh ini akan memberinya
manfaat berupa rasa, gerak dan keinginan.
Ibn Qayyim menjelaskan pendapat banyak orang bahwa manusia memiliki
tiga jiwa, yaitu nafs mutmainnah, nafs lawwamah dan nafs amarah. Ada orang yang
dikalahkan oleh nafs mutmainnah, dan ada yang dikalahkan oleh nafs ammarah.
Mereka berargumen dengan firman Allah: Wahai jiwa yang tenang (nafs mutmainnah)
... (QS. Al-Fajr: 27).
Aku sungguh-sungguh bersumpah dengan hari kiamat dan aku
benar-benar bersumpah dengan jiwa lawwamah (QS. al-Qiyamah: 1-2) Sesungguhnya
jiwa itu benar-benar menyuruh kepada keburukan (nafs ammarah) (QS. Yusuf: 53)
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa sebenarnya jiwa manusia itu satu, tetapi memiliki
tiga sifat dan dinamakan dengan sifat yang mendominasinya. Ada jiwa yang
disebut mutmainnah (jiwa yang tenang) karena ketenangannya dalam beribadah,
ber-mahabbah, ber-inabah, ber-tawakal, serta keridhaannya dan kedamaiannya
kepada Allah. Ada jiwa yang bernama nafs lawwamah, karena tidak selalu berada
pada satu keadaan dan ia selalu mencela; atau dengan kata lain selalu
ragu-ragu, menerima dan mencela secara bergantian. Ada juga pendapat yang
mengatakan bahwa nafs lawwamah dinamakan demikian karena orangnya sering
mencela. Sedangkan nafs ammarah adalah nafsu yang menyuruh kepada keburukan.
Jadi, jiwa manusia merupakan satu jiwa yang terdiri dari ammarah,
lawwamah dan mutmainnah yang menjadi tujuan kesempurnaan dan kebaikan manusia.
Sehingga ada kemiripan antara pendapat Ibn Qayyim dengan pendapat Ibn Taimiyah
tentang tiga sifat jiwa ini. Ibn Qayyim juga menjelaskan dan membagi menjadi
tiga kelompok kaum filosof yang terpengaruh oleh ide-ide Plato.[9]
Semua golongan yang tekun menuju jalan Allah, dengan segala
perbedaan cara dan jalannya telah
sepakat bahwa hawa nafsu adalah penghalang antara hati dan jalan menuju Tuhan.
Hati tidak akan dimasuki rasa cinta kepada Allah sebelum hawa nafsu dapat
ditundukkan dan dikendalikan sampai tidak berkuasa lagi.
Manusia terdiri dari dua kelompok; pertama, mereka yang dikuasai
dan dikendalikan oleh hawa nafsunya, sehingga berbuat dibawah kendali hawa
nafsu dan perintahnya. Kedua, mereka yang mampu menguasai dan mengendalikan
nafsunya, sehingga hawa nafsu itu tunduk pada perintah mereka.
Beberapa kalangan yang banyak membahas masalah ini mengatakan,
“Perjalanan seorang hamba telah selesai ketika ia sanggup menguasai dan
mengalahkan hawa nafsunya. Ketika mereka telah mengalahkan hawa nafsu, maka
mereka telah menang dan sukses. Tetapi jika mereka justeru dikuasai oleh
nafsunya, berarti mereka adalah orang-orang yang merugi dan celaka”.
Hal ini disebutkan dalam firman Allah SWT, “Adapun orang yang
melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya
nerakalah tempat tinggal (nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (QS. An-Naazi’aat (79): 37-41).
Hawa nafsu selalu mengajak manusia untuk berbuat melampaui batas
dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Padahal Allah memerintahkan hambaNya
agar menjaga dan mengendalikan diri dari godaan hawa nafsu.[10]
C.
Perjuangan Menghadapi Nafsu
لَوْلاَ مَيَادِيْنُ النُّفُوْسِ مَاتَحَقَّقَ سَيْرُ
السَّائِرِيْنَ اِذْلاَمَسَافَةَ بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ تَطْوِيْهَا رِحْلَتُكَ
وَلاَ قَطْعَةَ بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ حَتَّى تَمْحُوَهَا وَصْلَتُكَ
Artinya:
“Seandainya tidak aka nada medan perjuangan
melawan hawa nafsu, pasti tidak dapat terbukti perjalanan orang-orang yang
menuju kepada Allah, karena memang tidak ada jarak antara Anda dengan Allah
yang dapat ditempuh dengan kendaraan, juga tidak ada pemutusan antara anda
dengan Allah, sehingga perlu disambung oleh hubungan Anda.”
Berhati-hatilah dalam menghadapi nafsu.
Jangan sampai lengah, sebab nafsu menyuruh kepada kejahatan. Sebagian orang
arif ada yang berkata: “tidak mungkin dapat terlepas dari belenggu hawa nafsu,
kecuali dengan memperhatikan dan melaksanakan ajaran-ajaran syari’at lahir dan
batin, tanpa mengurangi atau berlebihan, tanpa teledor dan tidak pula malas.”
Nikmat terbesar ialah bila telah dapat bebas dari pengaruh hawa nafsu, sebab
hawa nafsu itu sebagai kabut tebal yang menjadi penghalang antara engkau dengan
Allah SWT.[11]
D. Pengendalian
Emosi
1.
Pengendalian emosi kemarahan
Rasulullah SAW menganjurkan kepada kaum muslim agar dapat mengendalikan
emosi kemarahan. Orang yang dapat mengontrol emosi kemarahannya akan menemukan
nilai kehidupan tertinggi. Ia mampu menguasai diri dari nafsu syahwat dan
segala godaan dunia yang mengepungnya. Rasulullah SAW mengajarkan kepada para
sahabatnya cara mengendalikan kemarahan, yaitu dengan menciptakan situasi yang
tenang (rileks) untuk melepaskan ketegangannya, duduk atau berbaring ketika
marah, selain itu dengan berwudhu.
2.
Pengendalian emosi kebencian
Rasulullah SAW menganjurkan kepada umat Islam untuk menyayangi dan
mencintai. Dan melarang manusia untuk saling membenci dan bermusuhan.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub, bahwa Rasulullah SAW
pernah bersabda:
لاَيَحِلُّ لِمُسْلِمٍ اَنْ يَهْجُرَ اَخَاهُ
فَوْقَ ثَلَاثٍ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِفَيُعَرِّضُ هَذَا وَيُعَرِّضُ هَذَا
وَخَيْرُ هُمَا الَّذيْ يَبْدَأُ اَلسُّلَامَ
“tidak diperbolehkan agi kaum muslim mendiamkan
(saling cemberut) saudaranya lebih dari tiga hari jika mereka saling bertemu,
mereka saling berpaling. Padahal sebaik-baik dari mereka ialah yang memulai
perdamaian dengan mengucap salam.
Rasulullah SAW menjanjikan bagi siapa saja yang terus menyalakan api
permusuhan terhadap sesame muslim lebih dari tiga hari dengan siksa yang pedih
di hari kiamat.
3.
Pengendalian emosi kesombongan
Sombong adalah sikap merasa tinggi dan memandang rendah orang lain.
Sombong merupakan kondisi emosional yang buruk dan tercela. Terdapat ancaman
dalam hadis bagi orang yang menolak kebenaran karena kesombongannya. Bagi siapa
saja yang merasa lebih tinggi dari orang lain dan memandang rendah terhadapnya,
maka mereka pantas masuk neraka.
4.
Pengendalian emosi keangkuhan dan kebanggan
pada diri sendiri
Al-Qur’an mencela sifat arogan dan berbangga diri.Allah SWT berfirman:
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ
تَمْشِ فِيْ الْاَرْضِ مَرَحًا اِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ(لقمان
:۱٨ )
Rasulullah SAW menganjurkan para sahabatnya supaya mampu menguasai emosi
keangkuhan dan kesombongan terhadap diri sendiri. Anjuran Rasulullah SAW juga
disertaidengan ancaman azab dalam kehidupan akhirat kelak.
5.
Pengendalian emosi kesedihan
Maksud dari pengendalian emosi sedih tidak berarti melarang seseorang
menangis atau tidak memperbolehkan mengekspresikan perasaan sedih dalam hati
karena ditinggal seseorang yang dicintai, akan tetapi, maksud pengendalian
perasaan sedih ialah menegah tangis yang berlebihan. Apalagi dengan suara
keras, meratap, dan berduka.[12]
E. Metode Pengendalian Nafsu
Pengendalian nafs adalah suatu usaha yang sungguh untuk
mengendalikan nafs al-ammarah menjadi nafs al-mutmainnah.[13]
Ada beberapa jalan yang harus dilalui untuk mencapai nafs
al-mutmainnah, yaitu:
- meningkatkan iman dan amal shaleh
- meningkatkan ilmu dan ma’rifah
- melakukan taubat dari dosa besar dan dosa keci.
- Memperbanyak mengingat Allah (zikir Allah)
- Meningkatkan Qanaah terhadap rezeki yang diberi Allah
- Melakukan zuhd terhadap hal yang bersifat materi dan keduniawian
- Meningkatkan kesabaran dari segala cobaan dan penderitaan
- Bertawakal kepada Allah atas segala urusan.
- Ridha terhadap segala ketentuan yang ditetapkan Allah
- Syukur atas segala nikmat Allah
- mencintai Allah melebihi dari segala-galanya
- Melaksanakan perintah Allah.[14]
BAB III
KESIMPULAN
Jiwa disebut juga nafs karena ia banyak keluar masuk dari tubuh
manusia. Kata jiwa berasal dari bahasa arab
النفس) ) atau
nafs merupakan satu kata yang memiliki banyak makna (lafzh
al-Musytaraq) dan dipahami sesuai dengan penggunaanya. Nafs yang wujud dalam diri manusia memiliki
berbagai fungsi, antara lain untuk membuat gagasan, berfikir dan merenung, yang
pada akhirnya menghasilkan keputusan apa yang harus diperbuat.
Banyak pengertian Jiwa menurut term Al-Qur’an, salah
satunya yaitu Nafs sebagai sisi dalam manusia. Sedangkan pembagian Nafs ada
tiga yaitu: (1) an-nafs al-ammarah, (2) An-nafs al-lawwamah, (3) Nafs al-Mutmainnah.
Dalam menempuh Nafs al-Mutmainnah haruslah melewati
berbagai tahapan, seperti:
(1) meningkatkan
iman dan amal shaleh, (2) meningkatkan ilmu dan ma’rifah, (3) melakukan taubat
dari dosa besar dan dosa keci, (4) Memperbanyak mengingat Allah (zikir Allah),
(5) Meningkatkan Qanaah terhadap rezeki yang diberi Allah, (6) Melakukan zuhd
terhadap hal yang bersifat materi dan keduniawian, (7) Meningkatkan kesabaran
dari segala cobaan dan penderitaan, (8) Bertawakal kepada Allah atas segala
urusan, (9) Ridha terhadap segala ketentuan yang ditetapkan Allah, (10) Syukur
atas segala nikmat Allah, (11) mencintai Allah melebihi dari segala-galanya,
(12) Melaksanakan perintah Allah.
DAFTAR PUSTAKA
……..Danusiri. Epistemologi dalam Tasawuf (IQBAL), Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1996.
Mubarok
Achmad. Psikologi Islam Kearifan & Kecerdasan Hidup, The IIIT-WAP,
Jakarta Selatan, 2009.
………………………...Sit Masganti. Psikologi Agama, Perdana
Publishing, Medan, 2001.
Rajab
Ibnu, dkk. Mendidik dan Membersihkan Jiwa Menurut Ulama Salaf, Najla
Press, Jakarta Selatan, 2004.
…………...Mubarok Achmad. Jiwa dalam Al-Qur’an, Para Madina,
Jakarta Selatan, 2000.
………...Othman Issa Ali. Manusia Menurut Al-Ghazali, Pustaka
Grafika, Bandung, 1981.
……………………………W Suprayetno. Psikologi Agama, Cita Pustaka,
Bandung, 2009.
…Jalaluddin. Psikologi Agama Edisi Revisi 2004, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
………………..Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1994.
NAFS ( JIWA)
www.lailahaillallah.com/I_F_A/blog/nafs-jiwa/ Posted October 9, 2010 by
ƧƳΔЯƖҒΔĦ ĴΔMЄЄ˩Δ.
Najati ‘Utsman
Muhammad. Psikologi dalam Perspektif Hadis (Al-Hadits wa ‘ulum an-Nafs),
Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2004.
…………………………..Asyarie.
Filsafat Hidup Manusia, Putra Pelajar, Surabaya, 2003.
Syekh Akhmad
Ibnu Athailah. Menyelam Ke Samura Ma’rifat dan Hakekat, Amelia,
Surabaya, 2006.
Sopiatun Popi. Psikologi
Belajar dalam Perspektif Islam, Ghalia Indonesia, Cilegon, 2011.
…………………………………Ramayulis.
Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2009.
[1]
Asyarie. Filsafat Hidup Manusia, Putra Pelajar, Surabaya, 2003, hlm 30.
[2]
Masganti. Psikologi Agama, Perdana Publishing, Medan, 2011 hlm 106.
[3]
Imam Al-Ghazali. Ihya’ ulum al-Din (tt. : kitab al-Syu’ab, tth). Vol II
hlm 1345.
[4]
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994,
hlm 679.
[5] W
Suprayetno. Psikologi Agama, Cv Perdana Mulya Sarana, Medan, 2009 hlm
109.
[6]
Mubarok Achmad. Psikologi Agama, The IIIT-WAP, Jakarta selatan, 2009,
hlm 15.
[7]
Mubarok Achmad. Jiwa dalam Al-Qur’an, Para Madina, Jakarta
Selatan, 2000.
[8]
Ali Issa Othman. Manusia Menurut Al-Ghazali, PUSTAKA-Perpustakaan Salman
ITB, Bandung, 1981. Hlm 133-134.
[9] NAFS
( JIWA) www.lailahaillallah.com/I_F_A/blog/nafs-jiwa/ Posted October 9, 2010 by
ƧƳΔЯƖҒΔĦ ĴΔMЄЄ˩Δ.
[10]
Ibnu Rajab, dkk. Mendidik dan Membersihkan Jiwa menurut Ulama Salaf, NAJLA
PRESS, Jakarta Selatan, 2004 hlm 107.
[11]
Syekh
Akhmad Ibnu Athailah. Menyelam Ke Samura Ma’rifat dan Hakekat, Amelia,
Surabaya, 2006. hlm
[12]
Najati
‘Utsman Muhammad. Psikologi dalam Perspektif Hadis (Al-Hadits wa ‘ulum
an-Nafs), Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2004. Hlm 119-131.
[13]
Abdul Hamid Al-Babali. Madrasah Pendidikan Jiwa, Gema Insani Press,
Jakarta, 2003.
[14] Ramayulis.
Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2009, hlm 202.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar