Senin, 19 Desember 2011

makalah nafs


      BAB I
PENDAHULUAN
Nafs disebut juga sebagai jiwa. Banyak para ahli seperti Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah mendefinisikan arti Nafs dan juga membaginya menjadi tiga bagian yaitu, Nafs al-amarah, Nafs al-lawwamah, dan yang terakhir Nafs al-mutmainnah.
Sedangkan di dalam al-Qur’an, Nafs memiliki makna yang berbeda-beda. Bisa sebagai diri Tuhan, diri atau seseorang, sebagai roh, sebagai jiwa, sebagai totalitas manusia, dan sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku.
Beberapa kalangan yang banyak membahas tentang Nafs mengatakan “perjalanan seorang hamba telah selesai ketika ia sanggup menguasai dan mengalahkan hawa nafsunya. Ketika mereka telah mengalahkan hawa nafsu, maka mereka telah menang dan sukses. Tetapi jika mereka justeru dikuasai oleh nafsunya, berarti mereka adalah orang-orang yang merugi dan celaka”. Dapat disimpulkan bahwa, kita sebagai manusia hendaklah bisa atau dapat mengendalikan nafsu yang jelek ke nafsu yang baik, agar kita tidak menjadi orang yang merugi.
Untuk merubahnya ada beberapa tahap yang harus kita jalankan, dan semua itu butuh kesabaran dan niat yang besar dari diri kita sendiri. Tahapnya itu seperti meningkatkan iman dan amal saleh kita kepeda Allah SWT.










BAB II
ISI
A.      Pengertian Nafs
Jiwa disebut juga nafs karena ia banyak keluar masuk dari tubuh manusia[1]. Kata jiwa berasal dari bahasa arab  النفس)   ) atau nafs’ merupakan satu kata yang memiliki banyak makna (lafzh al-Musytaraq) dan dipahami sesuai dengan penggunaanya. Kata  nafs terdapat dalam Al-Qur’an dengan makna yang berbeda. Terkadang ditujukan pada hakikat jiwa, yaitu terdiri dari tubuh dan ruh, sebagaimana tampak dalam al-Qur’an, وَلَوْشِئْنَالَآتَيْنَاكُلَّنَفْسٍ هُدَاهَاوَلَكِنْحَقَّالْقَوْلُمِنِّي لَأَمْلَأَنَّجَهَنَّمَمِنَالْجِنَّةِوَالنَّاسِأَجْمَعِينَ ”Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk.” (as-sajdah ayat 13)[2]
Menurut ahli tsawuf, nafs diartikan sesuatu yang melahirkan sifat tercela. Al-Ghazali menyebut nafs sebagai pusat potensi marah dan syahwat pada manusia الجا مع لقوة الغضب والشهوة في  الانسان[3] Dan sebagai pangkal dari segala sifat tercela. الاصل الجامع للصفات المذمومة من الانسان .Pengertian ini antara lain dipahami dari hadist yang yang berbunyi :
اعدى عدوّك نفسك التي بين جنبيك
Artinya:
“musuhmu yang paling berat adalah nafsumu yang ada di dua sisimu”.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, nafs (nafsu) juga dipahami dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik[4], padahal dalam al-Qur’an nafs tidak selalu berkonotasi negative
Kajian tentang nafs merupakan bagian dari kajian tentang hakikat manusia itu sendiri. Manusia dan nafs juga dibicarakan dalam kitab suci al-Qur’an. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa nafs sebagai sisi dalam manusia berhubungan dengan dorongan-dorongan tingkah laku, sikap dan dengan tingkah laku itu sendiri. Oleh karena itu kajian tentang nafs dalam al-Qur’an mencakup:
1.        Makna yang dipahami dari ungkapan nafs
2.        Nafs sebagai penggerak atau dorongan tingkah laku
3.        Hubungan nafs dengan tingkah laku manusia.

Nafs yang wujud dalam diri manusia memiliki berbagai fungsi, antara lain untuk membuat gagasan, berfikir dan merenung, yang pada akhirnya menghasilkan keputusan apa yang harus diperbuat. Itulah sebabnya kualitas nafs yang telah terbentuk pada seseorang aka membentuk sistem pengendalian pribadi.[5]

A.      Jiwa Menurut Term Nafs
Al-Qur’an menyebut nafs dalam bentuk-bentuk kata jadian.
تنفس     يتنافس     متنافسون     نفس     انفس
Dalam bentuk mufradat, nafs disebut 77 kali tanpa idlafah dan 65 kali dalam bentuk idlafah, dalam bentuk jamak nufus disebut 2 kali, sedangkan dalam bentuk jamak anfus disebut 158 kali, sedangkan kata tanaffasa-yatanaffasu dan al-mutanaffisun masing-masing hanya disebut satu kali. Term nafs dalam al-Qur’an semuanya disebut dalam bentuk Ism atau kata benda, yakni nafs, nufus, dan anfus.
Dalam al-Qur’an, kata nafs mempunyai aneka makna:
ª   Nafs, sebagai diri atau seseorang, dalam surat Ali-Imran /3:61, surat Yusuf /12:54, dan surat Ad-zariyat /51:21.
ª   Nafs, sebagai diri Tuhan, surat al-An’am /6:12, 54.
ª   Nafs, sebagai Roh, surat al-An’am /6:93.
ª   Nafs, sebagai jiwa, surat al-Syams /91:7 dan surat al-Fajr /89:27.
ª   Nafs, sebagai totalitas manusia, surat al-Maidah /5:32, dan surat al-Qashash /28:19, 33.
ª   Nafs, sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku, surat al-Ra’d /13:11 dan surat al-Anfal /8:53.
Ayat-ayat yang mengisyaratkan adanya sisi luar dan sisi dalam manusia antara lain (QS. Al-Ra’d/13:8-11).
1.        Nafs Sebagai Totalitas Manusia
Manusia adalah makhluk yang memiliki dua dimensi, yaitu jiwa dan raga. Tanpa jiwa dengan fungsi-fungsinya manusia dipandang tidak sempurna, dan tanpa jasad jiwa tidak dapat menjalankan fungsi-fungsinya. Pengertian totalitas manusia juga bermakna bahwa manusia memiliki sisi luar dan sisi dalam. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa nafs juga merupakan sisi dalam manusia.[6]

2.        Nafs Sebagai Sisi dalam Manusia
Surat al-Syams/91:7   ونفس وماسوّاها  secara tegas menyebutkan nafs sebagai jiwa. Jadi sisi dalam manusia adalah jiwanya. Sekurang-kurangnya al-Qur’an dua kali menyebut nafs sebagai sisi dalam yang mengandung potensi sebagai penggerak tingkah laku, yaitu pada surat al-Ra’d/13:11 dan surat al-Anfal/8:53.
اِنَّاللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَابِأَنْفُسِهِمْ  (ar-Ra’d/13:11 ) 
ذلِكَ بِاَنَّاللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً اَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَاَنَّ اللّهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ   ((al-Anfal/8:53
Kata ما بأنفسهم   mengisyaratkan bahwa nafs itu merupakan sisi dalam manusia yag juga merupakan wadah bagi suatu potensi, dan sesuatu itu sangat besar perannya bagi perbuatan manusia. Apa yang ada pada nafs manusia berperan besar dalam mempertahankan, menambah atau mengurangi tigkat sosial ekonomi masyarakat. Apa yang tersembunyi dalam nafs, dan dari sana lahir perbuatan akan dapat melahirkan perubahan-perubahan besar dalam kehidupan manusia di muka bumi ini.[7]
Nafs (nafsu) berhubungan secara etimologis dengan asal-usul “peniupan” dan secara silih berganti dipakai dalam literature bahasa arab dengan arti “jiwa kehidupan” atau  “gairah dan hasrat duniawi” gairah dan hasrat duniawi banyak dipakai dalam literature kaum sufi. Ghazali hanya  memperlihatkan dua dari sekian banyak arti tentang nafs tersebut. Satu diantaranya yalah pengertian “yang menggabungkan kekuatan amarah dan nafsu di dalam manusia”. Sebenarnya dua unsur tersebut mempunyai maksud yang baik karena mereka bertanggung jawab atas gejala-gejala jahat di dalam pribadi orang dan seharusnya memadamkan api . sebaliknya, kejahatan atau bagian yang merusak  dari amarah dan nafsu harus ditertibkan dan dibatasi tindakannya di bawah penilaian mutlak dari kecerdasan di dalam hati. Pengertian kedua dari nafs ialah sama dengan “kelembutan hati”.
Ada tiga perbedaan keadaan wujud (nafs) seperti disebutkan oleh Al-Qur’an.
Keadaan wujud pertama, disebut an-nafs al-mutmainnah (nafsu yang tenang tenteram) yang dikatakan di dalam Al-Qur’an sebagai berikut: “wahai nafsu (jiwa) yang tenang tenteram, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya”. Inilah yang merupakan keadaan tertinggi dari nafs dan terjadi apabila nafs tersebut sudah mapan dan tidak terganggu lagi oleh gairah sehingga dapat secara khusuk mengenal Allah dan memenuhi keyakinannya.
Keadaan wujud kedua, disebut an-nafs Al-lawwamah (nafsu yang disalahkan). Ini merupakan suatu keadaan dimana nafsu itu masih berusaha melawan amarah dan ghairah dan oleh karenanya belum mencapai kedamaian dan bersifat melulu untuk pengetahuan. Di dalam Al-Qur’an menyebutkan tentang hal tersebut sebagai berikut : “Dan Aku bersumpah dengan  jiwa (nafs) yang amat menyesali (dirinya sendiri)”.
Keadaan wujud ketiga, disebut an-nafs al-ammarah bi-alsu (nafsu aku yang mengendalikan kejahatan). Ia merupakan keadaan dimana “aku” akhirnya melepaskan pergumulan dengan pikatan gairah dan berhasil tunduk terhadapnya.[8]

B.       Nafs (jiwa) Menurut Para Ahli
J  Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)
Sebagaimana Ibn Sina, Imam Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.
2. Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak).
3. Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum. Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.
J  Ibn Taimiyah ( 661-728 H/1263-1328 M)
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa nafs tidak tersusun dari substansi-substansi yang terpisah, bukan pula dari materi dan forma. Selain itu, nafs bukan bersifat fisik dan bukan pula esensi yang merupakan sifat yang bergantung pada yang lain.16 Sesungguhnya nafs berdiri sendiri dan tetap ada setelah berpisah dari badan ketika kematian datang. Ia menyatakan bahwa kata al-ruh juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Ruh yang mengatur badan yang ditinggalkan setelah kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalamnya (badan) dan jiwalah yang meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh yang dicabut pada saat kematian dan saat tidur disebut ruh dan jiwa (nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit disebut ruh dan nafs. Ia disebut nafs karena sifatnya yang mengatur badan, dan disebut ruh karena sifat lembutnya. Kata ruh sendiri identik dengan kelembutan, sehingga angin juga disebut ruh.
Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa kata ruh dan nafs mengandung berbagai pengertian, yaitu:
1. Ruh adalah udara yang keluar masuk badan.
2. Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah.
3. Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: ... Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang ... (QS. al-'An'am, 54).
4. Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan, sebagaimana ucapan ahli fiqih, "Hewan yang memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir".
5. Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya.
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa jiwa (nafs/ruh) manusia sesungguhnya berjumlah satu, sementara al-nafs al-ammarah bi al-su', jiwa yang memerintahkan pada keburukan akibat dikalahkan hawa nafsu sehingga melakukan perbuatan maksiat dan dosa, al-nafs al-lawwamah, jiwa yang terkadang melakukan dosa dan terkadang bertobat, karena didalamnya terkandung kebaikan dan keburukan; tetapi jika ia melakukan keburukan, ia bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Dan dinamakan lawwamah (pencela) karena ia mencela orang yang berbuat dosa, tapi ia sendiri ragu-ragu antara perbuatan baik dan buru, dan al-nafs al-mutmainnah, jiwa yang mencintai dan menginginkan kebaikan dan kebajikan serta membenci kejahatan.
J  Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M)
Ibn Qayyim al-Jauziyah Menggunakan istilah ruh dan nafs untuk pengertian yang sama. Nafs (jiwa) adalah substansi yang bersifat nurani 'alawi khafif hayy mutaharrik atau jism yang mengandung nur, berada di tempat yang tinggi, lembut, hidup dan bersifat dinamis. Jizm ini menembus substansi anggota tubuh dan mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api di dalam kayu bakar. Selama anggota badan dalam keadaan baik untuk menerima pengaruh yang melimpah di atasnya dari jism yang lembut ini, maka ia akan tetap membuat jaringan dengan bagian-bagian tubuh. Kemudian pengaruh ini akan memberinya manfaat berupa rasa, gerak dan keinginan.
Ibn Qayyim menjelaskan pendapat banyak orang bahwa manusia memiliki tiga jiwa, yaitu nafs mutmainnah, nafs lawwamah dan nafs amarah. Ada orang yang dikalahkan oleh nafs mutmainnah, dan ada yang dikalahkan oleh nafs ammarah. Mereka berargumen dengan firman Allah: Wahai jiwa yang tenang (nafs mutmainnah) ... (QS. Al-Fajr: 27).
Aku sungguh-sungguh bersumpah dengan hari kiamat dan aku benar-benar bersumpah dengan jiwa lawwamah (QS. al-Qiyamah: 1-2) Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada keburukan (nafs ammarah) (QS. Yusuf: 53) Ibn Qayyim menjelaskan bahwa sebenarnya jiwa manusia itu satu, tetapi memiliki tiga sifat dan dinamakan dengan sifat yang mendominasinya. Ada jiwa yang disebut mutmainnah (jiwa yang tenang) karena ketenangannya dalam beribadah, ber-mahabbah, ber-inabah, ber-tawakal, serta keridhaannya dan kedamaiannya kepada Allah. Ada jiwa yang bernama nafs lawwamah, karena tidak selalu berada pada satu keadaan dan ia selalu mencela; atau dengan kata lain selalu ragu-ragu, menerima dan mencela secara bergantian. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nafs lawwamah dinamakan demikian karena orangnya sering mencela. Sedangkan nafs ammarah adalah nafsu yang menyuruh kepada keburukan.
Jadi, jiwa manusia merupakan satu jiwa yang terdiri dari ammarah, lawwamah dan mutmainnah yang menjadi tujuan kesempurnaan dan kebaikan manusia. Sehingga ada kemiripan antara pendapat Ibn Qayyim dengan pendapat Ibn Taimiyah tentang tiga sifat jiwa ini. Ibn Qayyim juga menjelaskan dan membagi menjadi tiga kelompok kaum filosof yang terpengaruh oleh ide-ide Plato.[9]
Semua golongan yang tekun menuju jalan Allah, dengan segala perbedaan cara dan jalannya  telah sepakat bahwa hawa nafsu adalah penghalang antara hati dan jalan menuju Tuhan. Hati tidak akan dimasuki rasa cinta kepada Allah sebelum hawa nafsu dapat ditundukkan dan dikendalikan sampai tidak berkuasa lagi.
Manusia terdiri dari dua kelompok; pertama, mereka yang dikuasai dan dikendalikan oleh hawa nafsunya, sehingga berbuat dibawah kendali hawa nafsu dan perintahnya. Kedua, mereka yang mampu menguasai dan mengendalikan nafsunya, sehingga hawa nafsu itu tunduk pada perintah mereka.
Beberapa kalangan yang banyak membahas masalah ini mengatakan, “Perjalanan seorang hamba telah selesai ketika ia sanggup menguasai dan mengalahkan hawa nafsunya. Ketika mereka telah mengalahkan hawa nafsu, maka mereka telah menang dan sukses. Tetapi jika mereka justeru dikuasai oleh nafsunya, berarti mereka adalah orang-orang yang merugi dan celaka”.
Hal ini disebutkan dalam firman Allah SWT, “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (QS. An-Naazi’aat (79): 37-41).
Hawa nafsu selalu mengajak manusia untuk berbuat melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Padahal Allah memerintahkan hambaNya agar menjaga dan mengendalikan diri dari godaan hawa nafsu.[10]



C.      Perjuangan Menghadapi Nafsu
لَوْلاَ مَيَادِيْنُ النُّفُوْسِ مَاتَحَقَّقَ سَيْرُ السَّائِرِيْنَ اِذْلاَمَسَافَةَ بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ تَطْوِيْهَا رِحْلَتُكَ وَلاَ قَطْعَةَ بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ حَتَّى تَمْحُوَهَا وَصْلَتُكَ 
Artinya:
“Seandainya tidak aka nada medan perjuangan melawan hawa nafsu, pasti tidak dapat terbukti perjalanan orang-orang yang menuju kepada Allah, karena memang tidak ada jarak antara Anda dengan Allah yang dapat ditempuh dengan kendaraan, juga tidak ada pemutusan antara anda dengan Allah, sehingga perlu disambung oleh hubungan Anda.”
Berhati-hatilah dalam menghadapi nafsu. Jangan sampai lengah, sebab nafsu menyuruh kepada kejahatan. Sebagian orang arif ada yang berkata: “tidak mungkin dapat terlepas dari belenggu hawa nafsu, kecuali dengan memperhatikan dan melaksanakan ajaran-ajaran syari’at lahir dan batin, tanpa mengurangi atau berlebihan, tanpa teledor dan tidak pula malas.” Nikmat terbesar ialah bila telah dapat bebas dari pengaruh hawa nafsu, sebab hawa nafsu itu sebagai kabut tebal yang menjadi penghalang antara engkau dengan Allah SWT.[11]

D.      Pengendalian Emosi
1.        Pengendalian emosi kemarahan
Rasulullah SAW menganjurkan kepada kaum muslim agar dapat mengendalikan emosi kemarahan. Orang yang dapat mengontrol emosi kemarahannya akan menemukan nilai kehidupan tertinggi. Ia mampu menguasai diri dari nafsu syahwat dan segala godaan dunia yang mengepungnya. Rasulullah SAW mengajarkan kepada para sahabatnya cara mengendalikan kemarahan, yaitu dengan menciptakan situasi yang tenang (rileks) untuk melepaskan ketegangannya, duduk atau berbaring ketika marah, selain itu dengan berwudhu.



2.        Pengendalian emosi kebencian
Rasulullah SAW menganjurkan kepada umat Islam untuk menyayangi dan mencintai. Dan melarang manusia untuk saling membenci dan bermusuhan.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
لاَيَحِلُّ لِمُسْلِمٍ اَنْ يَهْجُرَ اَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِفَيُعَرِّضُ هَذَا وَيُعَرِّضُ هَذَا وَخَيْرُ هُمَا الَّذيْ يَبْدَأُ اَلسُّلَامَ
 “tidak diperbolehkan agi kaum muslim mendiamkan (saling cemberut) saudaranya lebih dari tiga hari jika mereka saling bertemu, mereka saling berpaling. Padahal sebaik-baik dari mereka ialah yang memulai perdamaian dengan mengucap salam.
Rasulullah SAW menjanjikan bagi siapa saja yang terus menyalakan api permusuhan terhadap sesame muslim lebih dari tiga hari dengan siksa yang pedih di hari kiamat.

3.        Pengendalian emosi kesombongan
Sombong adalah sikap merasa tinggi dan memandang rendah orang lain. Sombong merupakan kondisi emosional yang buruk dan tercela. Terdapat ancaman dalam hadis bagi orang yang menolak kebenaran karena kesombongannya. Bagi siapa saja yang merasa lebih tinggi dari orang lain dan memandang rendah terhadapnya, maka mereka pantas masuk neraka.

4.        Pengendalian emosi keangkuhan dan kebanggan pada diri sendiri
Al-Qur’an mencela sifat arogan dan berbangga diri.Allah SWT berfirman:
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِيْ الْاَرْضِ مَرَحًا اِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ(لقمان :۱٨ )
Rasulullah SAW menganjurkan para sahabatnya supaya mampu menguasai emosi keangkuhan dan kesombongan terhadap diri sendiri. Anjuran Rasulullah SAW juga disertaidengan ancaman azab dalam kehidupan akhirat kelak.

5.        Pengendalian emosi kesedihan
Maksud dari pengendalian emosi sedih tidak berarti melarang seseorang menangis atau tidak memperbolehkan mengekspresikan perasaan sedih dalam hati karena ditinggal seseorang yang dicintai, akan tetapi, maksud pengendalian perasaan sedih ialah menegah tangis yang berlebihan. Apalagi dengan suara keras, meratap, dan berduka.[12]

E.       Metode Pengendalian  Nafsu
Pengendalian nafs adalah suatu usaha yang sungguh untuk mengendalikan nafs al-ammarah menjadi nafs al-mutmainnah.[13]
Ada beberapa jalan yang harus dilalui untuk mencapai nafs al-mutmainnah, yaitu:
  1.  meningkatkan iman dan amal shaleh
  2.  meningkatkan ilmu dan ma’rifah
  3.  melakukan taubat dari dosa besar dan dosa keci.
  4. Memperbanyak mengingat Allah (zikir Allah)
  5. Meningkatkan Qanaah terhadap rezeki yang diberi Allah
  6. Melakukan zuhd terhadap hal yang bersifat materi dan keduniawian
  7. Meningkatkan kesabaran dari segala cobaan dan penderitaan
  8. Bertawakal kepada Allah atas segala urusan.
  9. Ridha terhadap segala ketentuan yang ditetapkan Allah
  10. Syukur atas segala nikmat Allah
  11. mencintai Allah melebihi dari segala-galanya
  12. Melaksanakan perintah Allah.[14]






BAB III
KESIMPULAN
Jiwa disebut juga nafs karena ia banyak keluar masuk dari tubuh manusia. Kata jiwa berasal dari bahasa arab  النفس)   ) atau nafs merupakan satu kata yang memiliki banyak makna (lafzh al-Musytaraq) dan dipahami sesuai dengan penggunaanya. Nafs yang wujud dalam diri manusia memiliki berbagai fungsi, antara lain untuk membuat gagasan, berfikir dan merenung, yang pada akhirnya menghasilkan keputusan apa yang harus diperbuat.
Banyak pengertian Jiwa menurut term Al-Qur’an, salah satunya yaitu Nafs sebagai sisi dalam manusia. Sedangkan pembagian Nafs ada tiga yaitu: (1) an-nafs al-ammarah, (2) An-nafs al-lawwamah, (3)  Nafs al-Mutmainnah.
Dalam menempuh Nafs al-Mutmainnah haruslah melewati berbagai tahapan, seperti:
(1) meningkatkan iman dan amal shaleh, (2) meningkatkan ilmu dan ma’rifah, (3) melakukan taubat dari dosa besar dan dosa keci, (4) Memperbanyak mengingat Allah (zikir Allah), (5) Meningkatkan Qanaah terhadap rezeki yang diberi Allah, (6) Melakukan zuhd terhadap hal yang bersifat materi dan keduniawian, (7) Meningkatkan kesabaran dari segala cobaan dan penderitaan, (8) Bertawakal kepada Allah atas segala urusan, (9) Ridha terhadap segala ketentuan yang ditetapkan Allah, (10) Syukur atas segala nikmat Allah, (11) mencintai Allah melebihi dari segala-galanya, (12) Melaksanakan perintah Allah.








DAFTAR PUSTAKA
……..Danusiri. Epistemologi dalam Tasawuf (IQBAL), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
Mubarok Achmad. Psikologi Islam Kearifan & Kecerdasan Hidup, The IIIT-WAP, Jakarta Selatan, 2009.
………………………...Sit Masganti. Psikologi Agama, Perdana Publishing, Medan, 2001.
Rajab Ibnu, dkk. Mendidik dan Membersihkan Jiwa Menurut Ulama Salaf, Najla Press, Jakarta Selatan, 2004.
…………...Mubarok Achmad. Jiwa dalam Al-Qur’an, Para Madina, Jakarta Selatan, 2000.
………...Othman Issa Ali. Manusia Menurut Al-Ghazali, Pustaka Grafika, Bandung, 1981.
……………………………W Suprayetno. Psikologi Agama, Cita Pustaka, Bandung, 2009.
…Jalaluddin. Psikologi Agama Edisi Revisi 2004, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
………………..Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.
NAFS ( JIWA) www.lailahaillallah.com/I_F_A/blog/nafs-jiwa/ Posted October 9, 2010 by ƧƳΔЯƖҒΔĦ ĴΔMЄЄ˩Δ.
Najati ‘Utsman Muhammad. Psikologi dalam Perspektif Hadis (Al-Hadits wa ‘ulum an-Nafs), Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2004.
…………………………..Asyarie. Filsafat Hidup Manusia, Putra Pelajar, Surabaya, 2003.
Syekh Akhmad Ibnu Athailah. Menyelam Ke Samura Ma’rifat dan Hakekat, Amelia, Surabaya, 2006.
Sopiatun Popi. Psikologi Belajar dalam Perspektif Islam, Ghalia Indonesia, Cilegon, 2011.
…………………………………Ramayulis. Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2009.


[1] Asyarie. Filsafat Hidup Manusia, Putra Pelajar, Surabaya, 2003, hlm 30.
[2] Masganti. Psikologi Agama, Perdana Publishing, Medan, 2011 hlm 106.
[3] Imam Al-Ghazali. Ihya’ ulum al-Din (tt. : kitab al-Syu’ab, tth). Vol II hlm 1345.
[4] Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994, hlm 679.
[5] W Suprayetno. Psikologi Agama, Cv Perdana Mulya Sarana, Medan, 2009 hlm 109.
[6] Mubarok Achmad. Psikologi Agama, The IIIT-WAP, Jakarta selatan, 2009, hlm 15.
[7] Mubarok Achmad. Jiwa dalam Al-Qur’an, Para Madina, Jakarta Selatan, 2000.

[8] Ali Issa Othman. Manusia Menurut Al-Ghazali, PUSTAKA-Perpustakaan Salman ITB, Bandung, 1981. Hlm 133-134.
[9] NAFS ( JIWA) www.lailahaillallah.com/I_F_A/blog/nafs-jiwa/ Posted October 9, 2010 by ƧƳΔЯƖҒΔĦ ĴΔMЄЄ˩Δ.
[10] Ibnu Rajab, dkk. Mendidik dan Membersihkan Jiwa menurut Ulama Salaf, NAJLA PRESS, Jakarta Selatan, 2004 hlm 107.
[11] Syekh Akhmad Ibnu Athailah. Menyelam Ke Samura Ma’rifat dan Hakekat, Amelia, Surabaya, 2006. hlm

[12] Najati ‘Utsman Muhammad. Psikologi dalam Perspektif Hadis (Al-Hadits wa ‘ulum an-Nafs), Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2004. Hlm 119-131.
[13] Abdul Hamid Al-Babali. Madrasah Pendidikan Jiwa, Gema Insani Press, Jakarta, 2003.
[14] Ramayulis. Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2009, hlm 202.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar